K.H. Ahmad Bahauddin Nursalim, lebih dikenal sebagai Gus Baha, merupakan ulama yang berasal dari Rembang. Gus Baha menikah dengan Ning Winda asal Pesantren Sidogiri Pasuruan. Ia dikenal sebagai salah satu ulama ahli tafsir yang memiliki pengetahuan mendalam seputar al-Qur’an.
PENDIDIKAN
Gus Baha’ kecil memulai menempuh gemblengan keilmuan dan hafalan Al-Qur’an di bawah asuhan ayahnya sendiri, KH Nursalim Al-Hafidz.
Hingga pada usia yang masih sangat belia, beliau telah mengkhatamkan Al-Qur’an beserta Qiro’ahnya dengan lisensi yang ketat dari ayah beliau. Memang, karakteristik bacaan dari murid-murid Mbah Arwani menerapkan keketatan dalam tajwid dan makhorijul huruf.
Menginjak usia remaja, Kiai Nursalim menitipkan Gus Baha’ untuk mondok dan berkhidmat kepada Syaikhina KH. Maimoen Zubair di Pondok Pesantren Al Anwar Karangmangu, Sarang, Rembang, sekitar 10 km arah timur Narukan.
Gus Baha menempuh pendidikan formal di SD Negeri Sarang 1, SMP Negeri 1 Sarang, dan SMA Negeri 1 Sarang. Selain itu, ia juga mondok di Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang yang diasuh oleh KH. Maimun Zubair. Di pesantren ini, ia belajar ilmu-ilmu agama, khususnya ilmu tafsir dan Al-Quran.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Sarang, Gus Baha menikah dengan Ning Winda, seorang anak kiai dari Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan pada tahun 2003. Ia kemudian memilih menetap di Yogyakarta bersama istri dan tiga anaknya yang bernama Tasbiha Mahmida Hassan, Tasbiha Mila, dan Tasbiha.
KELAHIRAN
Gus Baha atau KH. Ahmad Bahauddin Nursalim adalah putra Kiai Nur Salim, pengasuh pesantren Alquran di Kragan, Narukan, Rembang. Kiai Nur Salim adalah murid dari Kiai Arwani Kudus dan Kiai Abdullah Salam, Kajen, Pati. Nasabnya bersambung kepada para ulama besar. Bersama Kiai Nur Salim inilah, Gus Miek (KH Hamim Jazuli) memulai gerakan Jantiko (Jamaah Anti Koler) yang menyelenggarakan semaan Al-Qur’an secara keliling.
Jantiko kemudian berganti Mantab (Majelis Nawaitu Topo Broto), lalu berubah jadi Dzikrul Ghafilin. Kadang ketiganya disebut bersamaan: Jantiko-Mantab dan Dzikrul Ghafilin.
Kiai kelahiran 1970 ini memilih Yogyakarta sebagai tempatnya memulai pengembaraan ilmiahnya. Pada tahun 2003 ia menyewa rumah di Yogya. Kepindahan ini diikuti oleh sejumlah santri yang ingin terus mengaji bersamanya.
Pengasuh Pesantren
Gus Baha tidak hanya belajar ilmu agama, tetapi juga mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain. Ia menjadi pengasuh di beberapa pondok pesantren seperti Pondok Pesantren Tahfidzul Quran LP3IA Narukan Rembang yang didirikan oleh ayahnya, Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang yang didirikan oleh gurunya, Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta yang didirikan oleh kakeknya, dan Pondok Pesantren Al-Bahjah Prambanan Yogyakarta yang didirikan oleh saudaranya.
KEILMUAN
Selain Yogyakarta beliau juga diminta untuk mengasuh PengajianTafsir Al-Qur’an di Bojonegoro, Jawa Timur. Di Yogya minggu terakhir, sedangkan di Bojonegoro minggu kedua setiap bulannya.
Hal ini beliau jalani secara rutin sejak 2006 hingga kini. Di UII beliau adalah Ketua Tim Lajnah Mushaf UII.
Timnya terdiri dari para Profesor, Doktor dan ahli-ahli Al-Qur’an dari seantero Indonesia seperti Prof. Dr. Quraisy Syihab, Prof. Zaini Dahlan, Prof. Shohib dan para anggota Dewan Tafsir Nasional yang lain.
Suatu kali beliau ditawari gelar Doctor Honoris Causa dari UII, namun beliau tidak berkenan. Dalam jagat Tafsir Al-Qur’an di Indonesia beliau termasuk pendatang baru dan satu-satunya dari jajaran Dewan Tafsir Nasional yang berlatar belakang pendidikan non formal dan non gelar.
Meski demikian, kealiman dan penguasaan keilmuan beliau sangat diakui oleh para ahli tafsir nasional.
- Pewarta : H. Azhari , SE
- Editor : Agung Dwi Cahyono